(Grant Opp) UNICEF: Dukungan kepada Pemda untuk Memperkuat Layanan Kesehatan Ibu dan Anak di NTT

Deadline: 14 April 2023
Amount: US$110,000

Kematian balita telah menurun secara substansial sejak tahun 2000 sebagai hasil dari penurunan kematian akibat komplikasi kelahiran prematur dan kejadian terkait intrapartum, infeksi saluran pernapasan bawah, diare, malaria, dan campak (Lancet, 2021).

Namun, terlepas dari penurunan yang luar biasa tersebut, angka kematian balita global masih jauh di atas target 25 kematian per 1.000 kelahiran sebagaimana ditetapkan oleh SDG 3.2. Tantangan dalam perawatan bayi baru lahir yang berkualitas, mencegah dan mengurangi penyakit pada masa kanak-kanak merupakan faktor penting yang menghambat pemerintah dalam menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan balita serta mengurangi HIV/AIDS. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan bagian dari lima provinsi dari 34 provinsi di Indonesia yang memiliki tantangan besar dalam hal kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak.

Terdapat kemajuan yang lambat dalam penurunan angka kematian bayi baru lahir dan balita, dengan angka kematian bayi baru lahir sebesar 26 per 1.000 kelahiran dibandingkan dengan angka nasional sebesar 15 per 1.000 kelahiran; dan angka kematian balita sebesar 58 per 1.000 kelahiran dibandingkan dengan angka nasional sebesar 24 per 1.000 kelahiran (SDG 2017). Pneumonia adalah penyebab utama kedua kematian balita di Indonesia, lebih dari 50% kasus kematian bayi pasca lahir disebabkan oleh pneumonia (data rutin Dinas Kesehatan Provinsi NTT 2021). Namun, cakupan penemuan kasus pneumonia hanya 30% dan cakupan penemuan kasus diare hanya 40% (data rutin Dinas Kesehatan Provinsi NTT 2021).

Meskipun 70% Puskesmas telah mengadopsi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam menangani anak yang sakit (Permenkes No. 25/2014), kualitas layanan MTBS masih menjadi tantangan di beberapa kabupaten. Kondisi ini ditambah dengan sulitnya akses ke fasilitas kesehatan, terutama di daerah pedesaan (77% penduduk NTT tinggal di daerah pedesaan, berdasarkan Riskesdas 2018 dan lebih dari 58% penduduk termasuk dalam klasifikasi "sangat sulit" dalam mengakses fasilitas kesehatan) dapat menyebabkan kurangnya temuan kasus penyakit.

Kondisi ini menyebabkan keterlambatan rujukan ke fasilitas kesehatan sehingga menghambat kelangsungan hidup anak dari penyakit yang tidak dapat diobati. Indonesia menempati urutan kedua untuk kejadian Tuberkulosis secara global dengan perkiraan 845.000 orang terdiagnosis TBC, 17% di antaranya adalah anak-anak (laporan Tuberkulosis Global WHO 2020). Anak balita merupakan populasi yang paling rentan tertular TB karena daya tahan tubuh yang masih rendah. Upaya komprehensif dan terpadu untuk meningkatkan penatalaksanaan TB pada anak, mulai dari pencegahan, skrining/deteksi dini, dan pemberian pengobatan sesuai standar menjadi sangat penting.

Program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) telah diadopsi di NTT sejak tahun 2017, mengikuti peraturan Kementerian Kesehatan No. 52 Tahun 2017 yang mewajibkan skrining HIV/AIDS, Sifilis dan Hepatitis B pada ibu hamil sebagai bagian dari paket pelayanan antenatal untuk memastikan tidak ada penularan vertikal HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari ibu ke anak. Sementara itu, skrining untuk ibu hamil untuk HIV telah meningkat dari 20% (2018) menjadi 50% (202).

Selengkapnya: https://www.unpartnerportal.org/api/public/export/projects/9974/